Artikel Terbaru »

Dum Spiro Spero

Mataku baru saja terbuka saat penjual bubur diseberang jalan itu telah membuka dagangannya, lelahku belum tersandarkan juga, kudengar sabda sebatang rokok yang mengepul diantara sesaknya helaan nafasku manasbihkan sebentuk harapan yang terkungkung beribu imajinasi. yang terakhir belum kulakukan hanya menipiskan sejengkal tanah yang baru saja dibasahi hujan pagi ini, tentang karya ilmiah yang tercipta melalui intimidasi fikiran, vandalisme fikiran dan hal-hal yang berkaitan dengan dimensi ketiga turunan waktu. mentari diufuk timur belum muncul, yang muncul pagi ini adalah keresahan, aku mungkin saja dapat segera mensubtitusikan keresahan ini menjadi sepenggal kisah kasih penyamun kecil yang berada diujung jurang tapi aku masih belum mau melakukan hal itu sampai aku benar-benar yakin untuk melakukan hal yang pada akhirnya pun akan pula menjadi penyesalan. ironis ketika harus kembali bertempur melawan ketidakpastian karena kebodohonanku yang terprovokasi untuk terus masuk kedalam duniamu, tidak secara elegan atau cara-cara semi ekslusif melainkan dengan cara yang sama sekali tidak berdasarkan teori usang kahlil gibran keparat itu tentang romantisme hubungan integral perasaan.huffhttss... sudahlah lupakan sejenak tentang sajak laki-laki berkumis itu, kini kita hidup dizaman berbeda kawan, zaman yang telah dipenuhi oleh akar-akar globalisasi yang telah menjalar dari pedesaan sampai gedung-gedung di perkotaan, zaman yang telah dipenuhi oleh sekumpulan bajingan kecil yang ketergantungan akan teknologi sehingga sangat-sangat memungkinkan untuk memanipulasi cinta, zaman yang telah dipenuhi dengan kebohongan, kemerosotan moral dan zaman yang telah dipenuhi oleh kekecewaan pengikut gibran karena teori yang dulu sangat diagungkan saat ini telah dijungkirbalikan oleh perkembangan syaraf homo sapiens!“Pagi bisu yang memendam keresahan”, aku bermain dengan Logat spekulatif yang lantang-suaranya, secara teratur muncul di atas panggung ketika kelincahan Gallicnya dalam memahami sesuatu tidak bisa menyelamatkanku dari vortus amarah yang seketika datang saat aku harus memuntahkan kekecewaanku kembali. Nada yang membusungkan dada, yang mengagung-agungkan diri sendiri, yang angkuh, dan terutama racauan yang tak henti-henti tentang "cinta untuk Nona" dan pertunjukan yang palsu tentang hal itu, yang selalu begitu tidak bermanfaat, terus-menerus berdengung di telinga orang-orang yang menanggapku gila bagai terserang syndrome tourette. Aku mulai menulis secara sistematis bagian-bagian tertentu diolah melalui kata-kata yang mentereng menjadi demam panas yang berlangsung sementara, berbeda dengan kehangatan yang asli yang membara dalam tulisanku yang sebelumnya. Hanya saja Sebagai tambahan, pertunjukan yang kikuk, memuakan mendampingi kelenjar keegoisan sehingga melahirkan keangkuhan pembawaannya pada fikiran-fikiran yang asli, merdeka telah dipatahkan dan yang sekarang, sebagai parvenu ilmu, mengganggap perlu menggembar-gemborkan apa yang dia bukan atau apa yang tidak dimilikinya. Kemudian mentalitas sampah kecil ini, yang dengan cara kebinatangan yang tidak sopan sedikitpun-dan tidak tajam maupun tidak mendalam serta tidak pula tepat-menyerang orang sepertiku, agar dihargai karena sikap praktisnya terhadap dirimu yang mungkin sangat memaknai tiap lembaran kehidupan yang telah dijalani, di pihak lain aku ingin sekali bersikap sopan terhadap orang seperti dirimu dan lagi perasaanku secara keseluruhan yang aku maksudkan adalah terletak dalam keseriusan yang lucu yang sangat membosankan, aku berusaha mengkotbahkan ungkapan perasaan yang dikarekterisasi oleh Helvetius sebagai dari yang malang dituntut keharusan menjadi sempurna. Ini terdengar bagus, tampak simetrikal. Tetapi apakah ini masuk akal? Ketika aku berusaha kembali mengajakmu untuk belajar mencintaiku, tapi aku sendirilah yang telah membekukan harapan tadi, Nampak jelas dan berbeda sekali, mungkin kamu menganggap ini lucu, tapi tidak bagiku, karena inilah saat dimana aku harus dapat mengambil simpati yang sangat sulit. Kreasi artistik tentu saja bukanlah omelan meskipun ini juga merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan transformasi realita, sesuai dengan apa yang saat ini terjadi. Sejauh apapun seni fantasi melangkah, dia tak bisa menolak material lain kecuali apa yang diberikan dunia tiga dimensi. Bahkan saat sorang artis menciptakan surga dan neraka, dia hanya mentransformasikan pengalaman dari hidupnya dalam phantasmagoria. Mungkin saja aku masih dapat mengingat untuk menjadikan kisah “Sendy dan Egha” dalam satu drama teatrikal berjudul kesetiaan. kemungkinan itu masih ada, harapan itu masih ada, selama masih ada kehidupan disini!

0 Comments:

Post a Comment



 
 
 

Member

 
Copyright © THE LAST EPISODE Powered by: Blogger.com
Template By: Ikhsan Hafiyudin