Artikel Terbaru »

Apa dan Siapa?!

Pagi ini sendu.. aku baru saja selesai membaca opus magnum Gerpolek milik Tan Malaka seorang unforgotten hero dari Minangkabau. Suara sumbang semakin terdengar darilapangan rasa khayalku, botol-botol minuman itu masih berserakan dihadapanku, kupandangi satu-persatu, dan sesaat kemudian aku mulai mengalami kejenuhan yang teramat sangat, kumaki saja lewat setiap jengkal tulisan yang aku buat, perjanjian yang aku buat diatas secarik kertas putih yang lantas aku sebut saja nurani bertahta mengisyaratkan pergumulan sengit antara ketidakpercayaan dan keegoisan, entahlah aku tleah meilih untuk tidak memilih walaupun pagi ini sendu, kucoba saja untuk memanipulasi perasaanku kembali. Kembali kelapangan rasa khayalku, kujumpai setiap makhluk yang memandangku sinis seakan ingin menerkam dan mencabik-cabik tubuh lemahku, sayup-sayup kudengar suara anjing yang bernyanyi, lalu menyusul kemudian rengekan bocah kecil yang merengek meminta belas kasihan orang tuanya, tubuhnya kurus kering, tanpa kesakralan janji yang melekat ditubuhnya, matanya sayu, ditangan kanan dan kirinya masih tertinggal jejak suntikan yang membekas, fikirannya melambung jauh entah kemana, tatapan matanya kosong, wajahnya biru lebam, tubuhnya lemah tak berdaya tergeletak disamping keegoisannya, aku mencoba menghampirinya, bau busuk menyeruak dari sekitar tempat ia berimajinasi, kututup hidungku lalu mencoba memberanikan diri untuk melangkah, perlahan kuhampiri, dan sungguh!! Aku tercengang melihat sesosok pria lusuh yang sedari tadi aku lihat dari kejauhan.. itu aku! Aku melihat diriku sendiri!! Sekujur tubuhku lemas, tak pernah aku menyangka bahwa betapa nistanya diriku sendiri, aku merasa kasihan pada diriku sendiri, aku lemah tak berdaya dan tak seorangpun yang mau menolong diriku selain aku sendiri! Kudapatkan seutas tali untuk menjerat lehernya saja, lelakiku meronta-ronta, namun aku gelap mata terus mencoba membunuh sampah ini! Dia terus melawan dengan segenap tenaga yang tersisa, airmatanya berderai diiringi jeritan menyayat hati, orang tuanya tak ada saat itu, tak sampai hitungan menit, “aku” itu pun mati, dan aku yang ini hanya terpelanting jauh meninggalkan “aku” yang itu sendiri, aku menghantarkan “aku” menuju purgatorio untuk bergabung bersama iblis disana. Aku berusaha menstimulasi kembali otakku untuk bekerja, fikiranku sejernih air keruh, aku pergi membawa keranda mayat “aku” yang itu sendirian, melelahkan memang, aku terus berjalan melewati gang sempit dilingkungan kenistaan, kemudian sampailah aku disebuah jurang curam dibatas peraduan jingga tak berbatas, kulemparkan mayat “aku” kedasar jurang! Kulambaikan tanganku tuk mengiringi kepergian “aku” sambil terus kumaki “aku” yang menyeretku dalam kelam.
Cermin yang tak pernah pantulkan kepalsuan, aku tersadar bahwa semua ini adalah persfektif daria apa yang aku sebut keterasingan, bagaimana aku berinteraksi dengan diriku sendiri, ketika aku membawa lari kebebasanku sendiri lalu berteriak mencari kebebasan yang telah aku curi dari tanganku sendiri, dan menyalahkan diriku dari sebab akibat yang aku buat sendiri! Mungkin kalian berfikir inilah konsekwensi dari apa yang telah aku jalani sendiri, dan mungkin saja kalian benar.

Lewat tengah hari, iblis masih mengejekku, dia tertawa dan berdansa tepat didepan hidungku! Kubenamkan saja wajahku kedalam Lumpur kesendirian lalu aku mengadu pada iblis yang satunya lagi, yaa.. aku telah lama mengenal iblis itu, dia teman baikku namanya Terumo! Dia sangat baik kepadaku, menemaniku saat aku sedang terpuruk, walau ia tak hadir ketika sakuku sedang kosong, dan meninggalkanku ketika aku sedang sakit menahan rasa sakit disekujur tulang dan hatiku. Lewat seorang kawan aku berlari mencari iblis temanku itu, kutitipkan saja dua lembar uang Seratus Ribu padanya, lewat kawanku aku dapat bertemu dengan iblis kecil itu, satu jam menunggu kawanku belum datang, dua, tiga, empat, sampai delapan jam temanku tak juga datang, kucari dia dalam lelah, namun dia tak pernah datang juga! Damn!! Dia menipuku, sama seperti aku yang menipu Mama, Papa, dan Parcoy familyku, aku berjalan tertunduk lesu.. iblis yang daritadi menari dihadapanku sekarang sudah memainkan peranan lain sebagai seorang penari pendet, tarian yang kemarin baru diklaim oleh negara tetanggaku. Aku mengalami dekadensi! Entah bagaimana lagi caranya aku harus mengusir iblis ini dari hadapanku..
Mendung telah tersekat, belati menancap dijantungku, ingin kutinggalkan sejenak kebebalanku, jengah ini masing mengisi hariku catatan kelam diujung tulisan ini, apa aku masih bijaksana?! Tidak, lupakan saja, Djibril enggan mendekat untuk memberikan wahyu kepadaku. Hari ini kutuliskan sajakku diatas kain merah pemberian Oma, sebuah sajak sendu untuk jiwa-jiwa yang haru, sajak yang tak pernah berbentuk, sajak yang kupatrikan diplakat jiwaku.. Sajak indah berjudul "KEPARAT" yang tak pernah tertulis dan terbit ...

0 Comments:

Post a Comment



 
 
 

Member

 
Copyright © THE LAST EPISODE Powered by: Blogger.com
Template By: Ikhsan Hafiyudin